DEMOKRATISASI MELALUI REFORMASI DEMOS

 Oleh: Hilarius S. Yance D.

Prolog

            Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Dalam perkembangannya, Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi dalam rumusannya yang sangat terkenal yaitu ‘Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’, (Muhammad Hanafi, 2013:235). Pada umumnya, demokrasi dipahami sebagai sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat (demos) sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Arah perkembangan dan pembangunan dimaksudkan untuk mensejahterakan kepentingan rakyat umum.

            Salah satu slogan demokrasi yang terkenal, Vox Populi, vox Dei. Vox Populi, Vox Dei, di kalangan kaum terpelajar istilah itu sudah cukup dikenal. Istilah dalam bahasa Latin tersebut sudah begitu populer. Dalam bahasa Indonesia, kalimat keramat ini memiliki makna ‘suara rakyat adalah suara Tuhan,’ (Bogor Lumbanraja, 2024:163). Slogan ini melegitimasi praktik pemilihan yang dilakukan secara umum, rakyat yang memilih pemimpin. Perlu disadari bahwa pemilihan ini berlandas pada cara berpikir populasi menjadi tolok ukur kesepahaman. Jumlah suara menentukan kemenangan sekaligus melegitimasi kelayakan seseorang untuk menjadi perwakilan rakyat.

            Idealisme wewenang demos untuk memangku kratos sering kali bermuara pada tanda tanya besar. Pasalnya kesesuaian antara ekspetasi perwakilan yang dihasilkan justru berwajah terbalik. Para pengemban amanat yang dipilih justru tidak mampu menjawabi kebutuhan umum (demos). Situasi ini menjadi titik refleksi untuk melihat praktik demokrasi secara mendasar. Apakah demokratisasi yang dibangun terhalangi oleh niat busuk orang yang ingin berkuasa; dengan memakai topeng palsu, atau justru mereka dilahirkan oleh ketidakmampuan demos untuk memilih orang yang tepat?

Reformasi Demos

            Peran penting rakyat/demos dalam demokratisasi menghendaki kapabilitas demos yang bisa menjadi filter bagi terpilihnya pelayan rakyat/birokrat. Untuk memastikan kekuasaan rakyat itu terpenuhi, maka KPU merumuskan sistem pemoilihan untuk menjamin hak-hak para pemilih. Rumusan itu dituangkan dalam bentuk asas dan mekanisme. Menurut Undang undang pasal 2 No. 7 Tahun 2017 menjelaskan asas pemilu sebagai prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang dikenal sebagai Luber dan jurdil, (Bogor Lumbanraja, 2024:158).

            Asas LUBER dan JURDIL dijadikan pijakan penting bagi terselenggaranya cita demokratisasi dan musyawarah. Namun demikian, problematika menyangkut penyelenggaraan pemilu justru sering kali muncul ke permukaan. Money politics, black campaign, politik identitas dan berbagai praktik keliru lain menjadi isu krusial yang merusak LUBER dan JURDIL. Kemolekan mekanisme partisipasi dan cita demokratisasi bukan hanya dilecehkan, tetapi ia lenyap sama sekali.

            Menurut hemat saya, praktik gelap dalam proses pemilihan umum/demokratisasi merupakan catatan bagi demos. Apakah demos bisa menjadi tameng untuk melawan praktik kelam itu atau justru terjebak dalam praktik kotor? Misalnya pemilihan berdasarkan hubungan kekerabatan yang mengesampingkan kualifikasi calon yang dipilih; pemilihan karena mendapat uang; pemilihan karena kesamaan identitas dan latar belakang. Jika demos/rakyat cukup mampu untuk memilih pemimpin/pelayan dengan kualifikasi yang baik, maka demokratisasi akan tercapai.

            Demos yang merupakan Vox populi, harus bisa menjaga martabat kemurnian pilihannya untuk menyelamatkan Vox Dei yang melekat pada keputusannya. Jika ia memilih berdasarkan kategori yang tidak berdasarkan Nurani, makai a mencoreng kehormatan suaranya sebagai suara Tuhan. Reformasi demos merupakan tuntutan pembenahan oleh rakyat untuk melihat partisipasinya dalam demokratisasi. Apakah ia cukup berkontribusi pada pemurnian martabat demokrasi dengan menjadi pemilih yang LUBER dan JURDIL dengan mengedepankan pemilihan berdasarkan kualifikasi diri calon yang dianggap layak.

            Dalam bahasa yang lebih menggurui, istilah reformasi demos merupakan sebuah catatan reflektif untuk masayarakat umum, tentang kapabilitas Masyarakat untuk memilih berdasarkan pertimbangan yang matang. Partisipasi dalam pemilihan mesti menjadi kontribusi untuk demokrasi yang lebih suci. Jika Masyarakat bisa menempatkan diri sebagai filter, daripada sebagai subjek pemilu dan obejk kekuasaan, maka demokratisasi telah terbenahi.

            Pemimpin yang dihasilkan dari coblosan demos mencerminkan kualitas Masyarakat itu sendiri. Jika Masyarakat bisa menjadi pemilih yang cerdas, maka pemimpin yang terpilih juga akan cerdas; sedangkan jika Masyarakat memilih berdasarkan kategori yang berlawanan dengan hukum LUBER dan JURDIL, maka pemimpin yang lahir ialah penjahat bertopeng nabi. Selebihnya pemerintahan yang dijalankan akan terkesan melenceng dari cita bonum commune, sebab ia dihasilkan oleh suara yang tidak memverivikasi kualifikasinya.

Epilog

            Vox Populi, Vox Dei, sebagaimana pandangan tentang demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kendali atas kekuasaan merupakan suatu titipan. Amanat yang disampaikan dari slogan ini bermaksud menuntut rakyat sebagai pemegang kekuasan untuk menjadi contributor bagi lahirnya demokrasi yang lebih suci. Praktik bobrok dalam Upaya demokratisasi hanya akan terhalang jika Masyarakat mampu mereformasi dirinya. Penolakan terhadap praktik keliru itu bisa dilakukan dalam bentuk pemilihan berdasarkan kualifikasi diri kandidat yang dipilih harus memenuhi kriteria. Masyarakat harus menimbang/memfilter kandidat berdasarkan kapabilitas dan bukan latar belakang atau identitas tertentu, atau bahkan karena keuntungan pribadi.

            Jika demos/bisa melakukan reformasi, niscaya demokratisasi sebagai jalan menuju bonum commune akan mendapat tempat. Ini akan menjadi bukti keberhasilan slogan “suara orang banyak adalah suara Tuhan.” Dengan demikian demos tidak hanya menjadi objek kekuasaan, tetapi sebagai subjek pemerintahan yang lebih demokratis dan menjawab kepentingan umum.

Referensi

Hanafi, Muhammad. 2013. “Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi Di Indonesia.” Jurnal CITA HUKUM, No.2, Vol.1

Lumbanraja, Bogor. 2024. “Pengaruh Tingkat Kedewasaan Etika Politik, Kesadaran Moral, Kesadaran Hukum Penyelenggara Pemilu Terhadap Pemilu Yang Luber Dan Jurdil Untuk Menghasilkan Vox Populi Vox Dei Demi Kepentingan Bersama (Bonum Commune) Thomas Aquinas.” FIAT IUSTITIA: JURNAL HUKUM, No.2, Vol.4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Artificial Intellegence VS Pelajar (Menengok Realita dan Membangun Harapan)

Seanggun Janji Semesta

A Reflection in the Midst of Confusion and Progress