Negeri Nun Jauh

 

By: Heppyyance

(Sebuah Cerpen)

          Aku memasuki sebuah kota yang amat indah. Bangunan pencakar langit berada Dimana-mana; ada mobil mewah; gemerlapan kehidupan menghiasi kota itu. Orang berlalu-lalang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kota ini seperti sebuah racikan sempurna seorang arsitek hebat. Gemuruh roda kendaraan bergerak menghantar semua orang yang terlihat sedikit tergesa-gesa dikejar tugas atau dipanggil oleh atasannya untuk segera bekerja. Aku diam membisu melihat keajaiban yang tak terucap ini. Hidup seperti ini kelihatannya sangat menyenangkan.

          Aku tak ingin berhenti melihat keajaiban ini, aku berjalan terus menyusuri Lorong yang menakjubkan ini. Tempat belanja menjadi wisata yang menarik banyak orang. Semua pengunjung menghiasi diiri mereka dengan perhiasan yang mahal dan mewah. Ada anak-anak dan orang tua, tetapi kaum muda adalah populasi. Mereka semua memborong semua jenis pakaian dan makanan, tidak tau kapan kenyangnya. Rasanya seluruh alam semesta disulap menjadi bingkai yang menutupi manusia dalam balutan kemewahan. Uang berhamburan di meja kasir, menjadi alat tukar antara selera dan pemenuhnya. Kasir tersenyum lebar menghitung uang lalu segera menyodorkan bahan belanjaan para pengunjung. Tatapan yang tajam ditunjukan untuk menawarkan barang-barang jualan pada mereka yang tak sabar untu terlihat Anggun dalam kemewahan pakaian barunya. HUH!!! Amazing, kataku.

          Aku berpindah dari sana menuju Lorong yang agak gelap. Kupikir ini adalah satu-satunya tempat yang tak ingin dikunjungi oleh orang di kota ini, sebab Lorong itu sangat gelap. Segera saja aku mengendus ke dalamnya mencoba menginvestigasi factor penyebab Lorong itu tak berpenghuni. Aku kaget, saat kulihat percikan lampu kelap-kelip dari sebuah ruangan yang rupanya diisi oleh puluhan orang dewasa. Kubuka pintu ruangan tempat orang-orang itu berkumpul. Aku mengendus pelan, berharap tak menjadi pusat perhatian saat mereka menyadari kehadiranku. Aku sedikit gugup saat mendekati kerumunan yang Tengah berpesta dengan minuman keras di tangan mereka; beberapa orang tergeletak di sofa, ada juga yang di lantai; sementara beberapa orang bermesraan di sudut ruangan. Para pelayan berlalu Lalang menghantarkan cairan bagi penikmat dunia fantasi. Mereka semua mabuk karena tangan peracik minuman yang menggembirakan. Aku menyadari satu hal, mereka tak mennganggapku ada, taka da yang melirik atau kaget dengan kehadiranku. Aku paham ini adalah efek mabuk dan angan yang tengah membawa mereka ke dunia yang lain.

          Aku meninggalkan tempat itu lalu mencari Lorong lain yang mungkin memberikan tontonan menarik. Aku melintasi beberapa Lorong kecil yang dihiasi oleh anak-anak yang Tengah duduk menyendiri sambil menikmati gesekan ke Hp nya masing-masing. Wajah mereka tampak serius dan tak lepas dari layer yang mereka tonton. Aku memutuskan untuk meninggalkan Lorong ini. Aku tiba di depan sebuah Gereja tua yang sangat indah. Tampak gereja ini telah lusuh, tak ada tanda-tanda aktivitas orang di sini. Karena penasaran, aku segera masuk. Kulihat gagang pintu gereja itu sangat indah, tak dipungkiri gereja ini mewah sekali. Aku berdecak kagum melihatnya. Kubuka pintu lalu segera membuat Tanda Kemenangan layaknya tradisi Katolik. Aku terkejut mendapati gereja ini tidak kosong. Beberapa orang berjubah sedang berbincang sambil sesekali tertawa. Mereka duduk melingkar di sekitar meja kecil. Ada Kitab Suci dan beberapa peralatan yang biasa digunakan untuk kegiatan doa. Tetapi mereka menggenggam beberapa lembar uang dan beberapa gamabr porno di tangan mereka. Sambil tertawa, mereka meneguk minuman beralkohol; tangan mereka tak luput dari tato. Mereka sedang mendiskusikan perkembangan politik yang akan menguntungkan mereka dengan menjual citra suci yang mereka miliki. Aku mengambil Langkah mundur lalu menghilang di balik pintu gereja itu, meski demikian, mereka tak mengacuhkanku.

          Tidak jauh dari situ, kulihat sebuah kantor yang cukup unik. Di bagian depan kantor itu terpampang burung garuda Bersama lima sila yang terukir indah di tubuhnya. Aku memutuskan untuk menengok ke dalamnya. Rupanya ruangan itu dipenuhi oleh sosok-sosok yang berwibawa, mereka mengenakan jas. Mereka semua Tengah mengadakan rapat penting. Mereka berdiskusi tentang Langkah praktis menuju kejayaan. Tetapi kemudian diskusi itu terhenti saat sebuah kardus di ambil dari kolong meja oleh pimpinan sidang. Beberapa amplop dikeluarkan lalu disodorkan kepada setiap peserta sidang. Lalu sidang menjadi hening, yang terdengar hanya bisikan dan anggukan kecil Ketika pimpinan sidang menambil Keputusan final. Tidak ada bantahan saat kepala sidang berbicara tentang bagaiaman menjadi lengan besi bagi mereka yang lemah; semua mengangguk sesekali tersenyum tipis melihat amplop di tangan mereka yang cukup berat. Lalu tampilah sebuah layar yang memproyeksikan tentang situasi di luar ruangan yang mengerikan. Ada kelaparan, kematian, kekerasan dan air mata. Tetapi mereka focus pada angka yang diproyeksikan oleh amplop mereka, sebab lebih menguntungkan. Di amplop itu Nasib keluarga mereka disselamatkan lalu Nasib orang lain dipertaruhkan. Aku tak cukup kuat untuk berdiri lama di sana. Segera kubalikkan badanku lalu melesat Bersama angin.

          Sebenarnya aku tak ingin lagi menysuri kota ini lebih jauh. Terlalu mengerikan. Tetapi aku takt ahu harus mencari jalan pulang kemana. Aku melihat beberapa Lorong; kuputuskan untuk mencari jalan keluar di sana. Aku melihat sorang pria tua Tengah memarahi seorang pemuda. Apa yang dilakukannya? Pemuda itu adalah pekerja yang mengabdi pada si tua itu. Pemuda itu melakukan kesalahan yang mebuat si Tua memarahi bahkan mencaci maki si Pemuda. Sementara beberapa orang teman si Pemuda tak mengucapkan kata sedikitpun, mereka bahkan memalingkan wajah mereka dari kejadian itu. Ketika si Tua akhirnya berlaku kasar pada si Pemuda, aku mencoba untuk melerai. Mendadak kedua orang itu lenyap dari pandanganku. Aku tercengan kaget dan bingung. Nadiku seperti terhipnotis oleh detak jantung yang kian cepat tak menentu. Aku segera berlari sambil menitikkan air mata. Sebelum akhirnya melihat beberapa kejadian yang lebih mengerikan.

          Aku dibawa oleh anganku sendiri menuju sebuah rumah yang terlihat mewah tetapi susananya dingin. Aku masuk ke dalamnya, kakiku membawaku ke sana tanpa alasan sementara batinku memberontak untuk segera pergi dari kota ini. Kulihat beberapa orang menghuni rumah itu. Mereka semua focus pada layar masing-masing. Anak-anak sibuk bermain game; ayah sibuk dengan komputernya, sang Ibu Tengah berdandan; rumah merak sangat berantakan. Tak ada percakapan di sana. Aku tercengang meyaksikan kekakuan keluarga ini. Beberapa saat kemudian anak-anak itu menyolok cas pada kontak di dinding rumah mereka agar tetap bermain game kesukaan mereka. Buku-buku berserakan di lantai; sementara mata anak-anak itu dilindungi kacamata walaupun terkadang beberapa tetesan air mata menetes dari kelopak matanya. Aku memutuskan untuk berhenti menonton kejadian asin ini.

          Kupikir lebih baik aku mengunjungi sekolah di kota ini. Tempat yang dalam benakku akan menyelamatkan semua orang yang telah terjatuh dalam dosa teramat dalam. Aku menemukan Lorong yang menghantarku ke sebuah sekolah. Aku menapaki kaki di Lorong itu penuh harap. Akhirnya aku tiba di halaman sekolah yang terlihat sepi. Aku menyelidiki setiap ruangan kelas dan ruangan para guru. Aku mendapati ruangan kelas itu diisi oleh anak yang tadi kutemui di rumahnya. Ia tertidur pulas dengan beberapa temannya. Tangannya terlipat di atas sebuah buku. Mereka sangat kelelahan. Seorang guru sibuk mengecek Hp nya, melihat beberapa notifikasi yang masuk. Kemudian tersenyum beberapa saat tanpa menoleh pada murid-murid yang terdidur. Aku tahu bahwa menegur guru itu sama sekali bukan ide yang bagus. Aku pergi ke ruang guru untuk menemui beberapa guru di sana. Rupanya para guru sedang mengadakan rapat. Tetapi mereka semua sedang menikmati tontonan di hp masing-masing daripada mengusulkan ide. Aku keluar dari sana dan mencari perpustakan sekolah itu. Tak ada orang di sana, hanya ada buku-buku yang kini berdebu karena tak pernah dibuka halamannya. Aku memutuskan untuk tak meneruskan penyelidikanku di sana.

          Aku baru saja keluar dari halaman sekolah itu. Beberapa orang berbaju oranye, beberapa lagi berbaju cokelat, dan beberapa lagi kutebak mereka adalah hakim, Tengah berjalan Bersama. Kupikir yang berbaju oranye adalah narapidana dan yang berbaju cokelat adalah aparat. Mereka berjalan Bersama sambil tersenyum tak bersalah. Para narapidana tidak dibelenggu dengan rantai, sementara aparat berjalan Bersama hakim, meninggalkan sebuah Gedung yang diharapkan menyimpan nilai moral yang bisa mendistribusikan keadilan. Aku kaget tapi tak bisa berkata apa-apa. Kubiarkan mereka berlalu Bagai mimpi buruk.

          Aku mencari Lorong pertama yang kumasuki menuju kota ini. Akhirnya aku lega saat aku menemuannya. Tetapi kaget berkali lipat kutemui saat kota ini tidak seindah tadi. Asap mengepul dari berbagai sudut kota. Semua orang memakai masker dan kaca mata. Beberapa orang, sepertiya dokter sibuk menyelamatkan anak-anak yang terdampak radiasi. Orang tua menangis sejadinya. Sementara itu kendaraan berlalu-lalang meninggalkan kabut dan polusi. Tidak ada pohon lagi. Semua bangunan pencakar langit berdiri kokoh menyelimuti teriakan dan tangisan semua warga kota. Mengerikan sekali. Tetapi semuanya tidak berakhir begitu saja. Muncullah makhluk aneh yang datang dan hidup di kota ini. Semuanya terbentuk dari besi dan kabel. Mereka adalah robot yang kini menggeser semua orang. Mereka bekerja, mereka membuang manusia dari aktivitasnya. Kota ini menyisahkan luka mendalam.

          Para pemuka agama berlutut memohon belas kasih pada Penguasa Jagat saat bencana banjir datang; para pemabuk menangis pilu melihat tubuh mereka yang diserang penyakit; Si Tua lemah tak berdaya di depan tokohnya yang kini bangkrut; para orang tua meratapi anak mereka yang dibantu selang oksigen dan kacamata; para guru diam membisu saat para murid menjadi manusia tak berkepala; para pejabat menelanjangi diri melihat kota yang hancur dan kelaparan; orang yang berbelanja kini dikelilingi sampah dan makanan yang hancur; sementara uang berhamburan ke langit membakar lapisan ozon; robot-robot muncul dengan taring yang ganas mengincar semua orang yang hidup dalam gejolak dan pusaran kematian. Semua orang mencoba lari dan menyelamatkan diri. Tetapi robot-robot itu terlalu ganas. Robot-robot itu semakin banyak dan berhamburan. Ada yang keluar dari pabrik; yang lain keluar dari Hp; yang lagi tak jelas dari mana tetapi mereka akan segera memangsa warga kota yang Tengah kacau itu. Anak-anak, orang tua, orang muda, semua dicabik-cabik oleh taring para robot.

          Aku menangis terseduh melihat semua derita ini. Kuputuskan untuk lari ke dalam Lorong yang aku tapaki pertama kali saat aku masuk kota ini. Kutemukan Lorong itu, tapi tak sempat kuselamtkan siapapun dari taring para robot. Aku terus berlari tak menentu. Di ujung Lorong itu aku melihat sebuah Cahaya yang berkilau di tanah. Cahaya itu indah sekali. Aku mendekat dan berharap Cahaya itu bisa menyelamatkan aku dan semua orang di kota ini dari serbuan para robot ganas itu. Aku mendekat dan mencoba mengamati wujud Cahaya itu. Aku membungkuk untuk mengambil Cahaya itu. Saat tanganku menyentuh wujud Cahaya itu……

          “Plak!” Seuatu terjatuh dari tanganku. ‘Ah rupanya aku berkhayal!’ gumamku dalam hati. Baru saja buku dalam genggamanku jatuh ke lantai. Aku tersadar dari sebuah imajinasi tak masuk akal. Aku duduk di sudut ruang kamarku sambil melihat keluar jendela menatap desa kecilku. Aku disihir oleh angan tak menentu. Dalam penglihatan yang lain aku dihadapkan dengan bayangan yang meakutkan tentang masa depan. Rupanya anak-anak yang mati dalam penglihatanku adalah khalayan semata (semoga saja). Aku berharap semua angan tadi pergi Bersama definisi khayalan sebagai bayang semu. Aku tak mau melihat keganasan taring robot-robot itu.

          Tak terasa air mata menetes dari pipi ku. Walau aku melihatnya dalam bayang, tetapi aku tak mampu membayangkan betapa mengerikannya kejadian yang kaualami dalam benakkku sendiri. Aku takut mengingatnya. Aku memeluk buku kecilku. Kutatap tulisan pada buku itu, semuanya tertata indah membentuk kalimat tanya yang memiliki arti yang sangat dalam. “SIAPAKAH AKU?” Tulisan itu menghendaki jawaban yang harus ditemukan dalam kehidupanku. Aku dituntut untuk menemuan jawaban itu dalam halaman buku itu lalu menghasilkan buahnya pada halaman hidup di bumi ini. Harus ada halaman indah yang dihasilkan dari membaca buku itu. Semua ceritera indah yang kupetik di sana (Baca: Buku), harus kutabur dalam lahan kehidupan Bersama orang lain. Semuanya ini layak untuk dikenang sebagai bayangan. Tetapi ketakutan mengatakan bahwa aku perlu meyusup ke dalam diri ku untuk menemukan makan di balik semua yang telah, sedang dan akan terjadi dalam perjalanan ku menjawabi pertanyaan di atas, “SIAPAKAH AKU?”

Komentar

Posting Komentar

Hi, Heppy

Postingan populer dari blog ini

Artificial Intellegence VS Pelajar (Menengok Realita dan Membangun Harapan)

A Reflection in the Midst of Confusion and Progress

Sajak Kelam Si Nelayan

DI UJUNG DOA

KUNJUNGAN MAHASISWA POLITEKNIK ELBAJO COMMODUS PROGRAM STUDI DIPLOMA III PERHOTELAN KE KSOP KELAS III LABUAN BAJO

Keindahan dan Kebersihan Bertamu di AYANA Komodo Waecicu Beach Berkat Tim Room Attendant Handal

Pembaca di Pojok Ruangan

Menulislah

Hidup adalah Perjuangan